Bocil ABG Muncrat Banyak Colmek
Hari-Hari Penuh Tantangan di Lingkungan Perumahan
Saya adalah seorang pria berusia 35 tahun, masih lajang. Dengan tinggi badan hanya 160 cm dan tubuh yang kurus, saya sering merasa kurang percaya diri. Kulit saya berwarna sawo matang dan meski nafsu makan saya normal, saya tetap saja tidak bisa menambah berat badan. Saya tinggal di sebuah kompleks perumahan yang padat, di mana rumah-rumah berdiri berdekatan sehingga suara tetangga sering terdengar jelas, terutama ketika mereka sedang berbicara dengan keras atau bertengkar.
Pada suatu pagi, saya sedang duduk-duduk di teras rumah menikmati udara segar. Dari kejauhan, saya melihat Yeni, anak perempuan tetangga yang baru saja kelas 3 SMP, bersiap-siap berangkat sekolah. Dengan usia sekitar 14 tahun, Yeni memiliki kulit putih bersih dan wajah oriental yang cantik. Postur tubuhnya yang kurus terlihat jelas dengan seragam SMP yang dikenakannya.
Tanpa sengaja, saya melirik ke arahnya ketika ia keluar rumah dan mulai memakai sepatu. Dia jongkok dengan santainya di teras rumahnya, dan karena jarak antara rumah kami yang hanya dipisahkan oleh jalan selebar dua meter, pemandangan itu terlihat sangat jelas. Yeni tanpa sadar membuka kakinya terlalu lebar sehingga saya bisa melihat celana dalamnya yang berwarna pink dan kedua pahanya yang putih mulus. Momen itu membuat saya terpaku, meski saya tahu bahwa saya seharusnya segera mengalihkan pandangan.
"Berangkat sekolah, Dik?" sapaku basa-basi saat ia sudah selesai memakai sepatu.
"Ya, Om. Ini buru-buru, takut telat ke sekolah," jawabnya dengan senyum polos sebelum pergi dengan sepedanya.
Setelah Yeni pergi, saya masih terpikirkan tentang kejadian tadi ketika Ani, tetangga sebelah rumah, melintas. Ani berusia sekitar 27 tahun, sudah menikah tapi belum punya anak. Suaminya adalah sopir bus antar kota yang sering bepergian selama beberapa hari. Setiap kali Ani keluar rumah untuk belanja ke warung, ia biasanya hanya memakai daster tipis tanpa bra, sehingga payudaranya sering terlihat jelas di balik kain.
"Mau kemana, Mbak? Belanja?" sapaku dengan nada ramah setiap kali Ani lewat.
"Iya, Mas. Cuma beli sayur saja kok," jawabnya sambil tersenyum.
Setiap kali Ani lewat, saya tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menyapanya, menikmati pemandangan yang membuat pagi saya lebih berwarna.
Sore harinya, setelah mandi, saya kembali duduk di teras rumah. Di seberang, saya melihat Yeni sedang duduk di teras rumahnya. Dia mengenakan celana pendek yang sangat pendek sehingga hampir seluruh pahanya terlihat. Kaos tipis tanpa lengan yang dipakainya memperlihatkan siluet tubuhnya yang kurus. Dia tampak kesal karena laptopnya sepertinya sedang bermasalah.
"Kenapa, Yen? Laptopnya kenapa?" tanyaku ketika menghampirinya.
"Ini, Om. Laptopnya kok layarnya diem aja, nggak bisa diapa-apain sejak dinyalain tadi," jawabnya sambil menghela napas.
"Kelihatannya kena virus, mungkin," kataku menebak.
"Barusan abis pinjem flashdisk teman buat mindahin lagu, habis itu jadi begini," jelasnya.
"Kalau mau, biar Om benerin. Om kan kerja di tempat servis komputer," tawarku.
"Tapi kan mahal ya, Om?" tanyanya ragu.
"Nggak usah bayar lah kalau sama Yeni, kan tetangga sendiri," jawabku. "Tapi laptopnya Om bawa dulu ke rumah buat diperbaiki, boleh?"
"Boleh, Om. Eh, boleh nggak kalau Yeni ikut ngeliat Om servis laptopnya? Kalau boleh, Yeni ijin mama dulu."
"Tentu saja boleh."
Saya mengambil laptopnya dan membawanya ke rumah. Saat saya mulai mengecek laptop tersebut, tiba-tiba Yeni sudah berada di belakangku, tanpa saya sadari dia sudah masuk rumah.
"Om, gimana laptopnya?" tanyanya penasaran.
"Kayaknya bener, kena virus. Jadi agak lama nih benerinnya," jawabku.
Yeni duduk di sampingku, begitu dekat sehingga saya bisa mencium aroma segar dari tubuhnya. Karena hanya ada satu kursi, dia duduk sangat rapat dengan saya, membuat payudaranya yang kecil dan lembut menempel pada lengan saya. Saya merasa jantung saya berdetak lebih cepat, dan tanpa sadar saya mulai merasakan ketegangan.
Kejadian di Kamar Mandi :
Tiba-tiba, Yeni berkata, "Om, numpang ke kamar mandi ya. Mau pipis nih, tolong dianterin dong, takut."
"Itu lurus saja," jawabku singkat.
"Tidak mau. Dianterin dong, takut," pintanya dengan nada manja.
Akhirnya, saya mengantar Yeni ke kamar mandi. Dia buru-buru masuk ke dalam dan tanpa menutup pintu, langsung buka celana pendeknya dan jongkok untuk buang air. Mungkin karena terlalu kebelet, dia tidak sempat menutup pintu. Melihat pemandangan itu, niat jahat tiba-tiba muncul dalam pikiran saya. Saya langsung masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu dari dalam.
"Om, kok masuk aja? Yeni kan lagi pipis… Malu tahu!" katanya dengan wajah merah padam.
"Om kebelet pipis juga nih. Lagian Yeni juga nggak nutup pintu," balasku dengan nada bercanda.
Setelah Yeni selesai, saya mendekat dan memeluknya. "Om sayang Yeni, om cinta sama Yeni, om akan lakukan apa saja untuk memiliki Yeni," bisikku pelan.
"Om… ahhh," Yeni akhirnya pasrah ketika saya mulai menciumi wajahnya.
Tanpa berpikir panjang, saya menariknya ke pelukan dan mulai menciumnya dengan nafsu. Tangan saya bergerak ke bawah, meraba kemaluannya yang masih basah. Yeni hanya bisa diam, sesekali mendesah ketika jari-jari saya mengelus lembut klitorisnya.
Dalam kekalutan nafsu, saya memutuskan untuk melanjutkan. Dengan posisi berdiri, saya merenggangkan kakinya dan memasukkan kelaminku ke dalam vaginanya. Yeni berontak dan ingin berteriak, tapi saya membekap mulutnya agar suaranya tidak terdengar keluar. Setelah beberapa kali keluar masuk, saya bisa merasakan keperawanannya terenggut. Dia menangis kesakitan, namun saya terus melanjutkan.
"Sakit, Om," ratapnya.
Saya tidak peduli, hanya fokus pada kenikmatan yang saya rasakan. Baru setelah beberapa menit, Yeni mulai pasrah dan saya pun mencapai puncak. Saya segera mencabut kelaminku dan menyemprotkan cairan di wajahnya.
"Sakit, Om. Kemaluanku berdarah," isaknya pelan.
"Maaf, Yeni. Om akan bertanggung jawab. Tapi jangan bilang siapa-siapa ya. Om sayang sama Yeni," bisikku sambil mencium dahinya.
Setelah itu, kami membersihkan diri masing-masing. Yeni pulang dengan laptopnya setelah saya memastikan bahwa saya benar-benar mencintainya dan akan bertanggung jawab.
Saat malam tiba, saya mendengar suara dari rumah Ani. Terdengar desahan dari balik dinding. Saya mencoba mengintip dari jendela dapur, dan melihat Ani sedang duduk di meja dapur, tidak berpakaian sama sekali, sedang meremas payudaranya dan mencolok vaginanya sendiri. Saya merasa penasaran dan mengetuk pintu dapurnya.
"Mbak Ani, barusan saya dengar ada suara ribut-ribut. Mbak tidak apa-apa?" tanyaku.
"Eh, itu cuma kucing, Mas. Gapapa kok," jawabnya sambil panik.
"Boleh masuk nggak, Mbak?" tanyaku lagi.
"Sebentar," katanya sambil membuka pintu, kali ini sudah mengenakan rok tipis.
"Suami Mbak kapan pulang?" tanyaku mencoba mencari celah.
"Mungkin dua hari lagi baru pulang, Mas. Jadi saya sering sendiri. Untung ada Mas di sebelah jadi tidak terlalu takut."
"Mau ditemenin nggak, Mbak? Biar nggak sepi," godaku sambil tersenyum.
"Ah, Mas ini," jawabnya sambil tersenyum malu.
Saya langsung memeluknya dan menciuminya. Ani tidak menolak, malah membalas ciuman saya dengan nafsu. Saya membopongnya ke ruang tengah dan merebahkannya di sofa. Tanpa ragu, saya mulai mencumbunya. Ani tampak menikmati setiap sentuhan saya.
"Mbak, kalau suami Mbak nggak ada, saya bersedia menemani hari-hari sepi Mbak," bisikku.
"Aah… ahh…," Ani hanya mendesah saat saya mencium payudaranya. Ternyata, dia tidak sempat memakai apa-apa selain daster.
Malam itu, saya membuat Ani mencapai puncak berkali-kali sebelum akhirnya saya sendiri mencapai puncak kenikmatan.
Hari itu benar-benar melelahkan bagi saya, namun penuh dengan pengalaman yang tak terlupakan. Namun, tindakan saya